Kamis, 15 November 2012

Egoku Tumpul

Ada saatnya diri ini merasa puas untuk egois. hanya berpusat pada "aku" tidak peduli dengan kamu atau mereka. #1 -- Ratna Riri K.S (@riri_jagoan)

Namun saat aku, kamu dan mereka berbicara tentang "kita" .. kepuasan ego yang dibanggakan berubah menjadi sebuah pisau tumpul. #2 -- Ratna Riri K.S (@riri_jagoan)

Pisau tumpul itu tidak bisa melukai apapun tidak menunjukkan kekuatan apapun. . tidak punya arti apa-apa. #3 -- Ratna Riri K.S (@riri_jagoan)

Lalu apa aku harus mengalah dengan kata "kita"? bagaimana dengan kamu atau mereka? apa bisa dengan lapang dada menyandang kata "kita"? #4 -- Ratna Riri K.S (@riri_jagoan)

Jangan sembarang bicara "kita" kalau aku masih yang pertama, kalau kamu bukan siapa2, kalau mereka tak pernah bilang "kita" #5 -- Ratna Riri K.S (@riri_jagoan)

Ya itu egoku.kenapa?marah? tapi jangan lupa tentang pisau tumpulku, yg selalu melemah dengan kata "kita".itu sebabnya aku masih disini.#end -- Ratna Riri K.S (@riri_jagoan)

apa sebenarnya makna kebersamaan? apakah memang sebegitu indahnya kebersamaan?
bagiku...... tidak. Tidak sebegitu indahnya.
ya itu menurutku.. tidak tau kalau kalian bagaimana..
aku bilang tidak begitu indah karena...
aku tidak bisa utuh melihat diriku sendiri.
aku tidak bisa bicara bebas berdasarkan aku... harus ada kamu.. harus ada mereka.. harus ada kita.
aku tidak bisa menolak begitu saja saat aku tidak suka... harus ada kamu.. harus ada mereka.. harus ada kita.      
aku harus tahan suaraku.
aku harus tahan hatiku.
aku harus tahan ambisiku.
aku tidak bisa hanya aku.
karena ada kamu, ada mereka, dan kita berbicara kita.     
mungkin itu.. yang membuat aku kesal dengan kamu atau mereka..
bahkan tak jarang aku mengumpat dengan bilang "kenapa harus ada kita?"

tetapi.... kalau hanya aku... kemana aku harus pulang saat lelah?
siapa yang menenangkan aku saat semua beban membuat gila?
siapa yang memujiku saat aku berhasil?
siapa yang menyuruhku berhenti saat kelakuan salahku semakin keterlaluan?

jawabannya adalah... kamu..dan mereka semua.

Aku terkadang membenci kita,
namun nyatanya... dunia ini lebih kejam dari kamu dan mereka. Dan untunglah aku tergabung dalam KITA..
hingga aku tetap baik-baik saja sampai saat ini.

Akhirnya aku tau.. kita memang tidak selalu indah.                         
namun ibarat rumah..
walau terkadang kamu bosan.. muak.. dan ingin pergi.. namun hatimu tidak pernah lupa dimana alamatnya.. dan kamu selalu tau kemana harus pulang.

Selasa, 06 November 2012

PERSIMPANGAN (cerpen)



Sebelumnya.. mobil ini melaju cepat.. nyaris seperti tidak ada rem. Sampai akhirnya sekarang, tidak bergerak. Aku terdiam, memandangi persimpangan jalan yang sedang terbentang dihadapanku.
            ”kenapa ?” Dio yang duduk disebelahku bertanya karena melihat aku tidak melanjutkan perjalananku.
Aku tidak menjawab dan justru mematikan mobilku.
            


            ”lah.. ? ini maksudnya apa? Kita udah sampe?” tanyanya kebingungan.
            ”belum.. toh kenyataannya memang kita pergi tanpa tujuan kan?” jawabku singkat.
Dio tidak menjawab, sepertinya dia malas berdebat denganku.
Ya.. aku salah memakai kata ”kita”. Sebenarnya bukan ”Kita”, tetapi hanya ”Aku”, karena memang aku yang pergi tanpa tujuan.. dan Dio hanya menemaniku.
            ”setidaknya, pinggirin mobilnya, kasian klo ada mobil lain yang mau lewat.. kehalang mobil lo?” ujarnya.
            ”gue bingung mau ke kiri atau ke kanan” jawabku tidak menghiraukan permintaanya.
 Dio melihat ke arah kiri dan kanan, karena memang tidak ada penunjuk jalan.
            ”ini kalau ke kiri nyambungnya kemana dan kalau kekanan nyambungnya kemana?” tanya Dio.
Aku menggelengkan kepala.
            ”loh.. gimana sih! Elo nggak tau daerah sini? Klo gitu kenapa lewat jalan sini? Kenapa nggak lewat jalan biasa aja..! kenapa lewatin jalanan yang elo nggak tau jalannya?”
            ”gue.. bosen lewat jalan biasa.” jawabku singkat.
Dio semakin kesal mendengar perkataanku, dia langsung menidurkan kursinya dan berencana untuk  tidak memperdulikan situasi ini.
            ”ke kiri itu nanti nembus-nembusnya taman. Ke kanan itu nembus-nembusnya kota.”
Mendengar itu Dio langsung menaikkan kursinya seperti semula.
            ”lah.. itu elo tau..”
            ”ngira-ngira.. ngandelin logika aja.”
Dio tidak merespon, dia hanya memperhatikan kiri dan kanan, mencoba mencari ”logika” yang aku maksud.
            ”gw jg nggak tau kok logika gw bener apa nggak.. bisa jadi salah.”
            ”mungkin sebenernya awalnya elo tentuin aja dulu, mau ke taman atau ke kota? Nggak usah mikirin bener salah dulu deh. Tentuin dulu tujuannya, baru kita cari jalannya.” terang Dio.
            ”tujuan gw adalah ke jalan yang lurus-lurus aja.. yang tidak punya persimpangan.. yang nggak ngebikin gw harus memilih kiri, kanan, atau lurus..”
            “kenapa? Soalnya elo takut salah pilih? Takut salah jalan?” tanya Dio.
Aku tidak menjawab. Haha.. lucu juga.. aku masih menjaga harga diriku didepan Dio dengan tidak mengakui tuduhannya.. padahal orang hilang arah seperti aku punya apa yang bisa disombongkan?!
            ”Jalan yang lurus-lurus aja itu ada.. tapi nggak semua jalan bisa lurus-lurus aja.. dan elo nggak bisa minta jalan lo lurus-lurus aja. Didalam perjalanan.. sangat mungkin elo ketemu persimpangan, yang mengharuskan elo buat memilih. Dan sangat mungkin juga elo salah jalan yang kadang ngebikin elo harus putar balik dan berdiri lagi di titik awal. Tetapi.. yaitulah perjalanan.. begitulah suka duka usaha mencapai tujuan.”
            ”kenapa harus begitu?” tanyaku geram.
Ya aku tau semua perkataan Dio itu benar.. tapi aku tidak suka.. aku tidak suka persimpangan.. tidak suka memilih.. tidak suka salah jalan.. tidak suka putar balik.. tidak suka titik awal. Bahkan aku sadar benar, mungkin karena semua tidak suka itu.. aku jadi tidak suka punya tujuan.. aku jadi takut punya tujuan.
Dio diam sejenak sambil mengamati wajahku yang menegang dan agak memerah, kemudian.. dengan tidak terpancing panas.. dia menjawab tenang,
            ”karena..... agar kita menghargai tujuan kita.... ”
            ”Bagaimana kalau gw sudah bersusah payah berjuang kesana dan ternyata tempatnya jelek bukan seperti yang gw mau.. apa gw akan balik pulang? Balik ke titik awal lagi?”
            ”ya itu tergantung masing-masing orang. Bisa jadi elo akan tetap disana dan membuat tempat tujuan itu menjadi indah seperti yang elo mau, bisa jadi elo juga elo pergi cari tujuan lain, bisa jadi juga elo balik pulang kerumah.. lagian.. apa sih jeleknya balik ke titik awal? Ya memang terlihat jelek sih, kesannya nggak maju-maju.. tapi apa itu salah? Kembali ke mula itu bukan berarti kalah. Kalau elo gagal terus matiin mobil, ninggalin mobil dan pergi tanpa arah tujuan.. itu baru elo kalah.”

Perkataan Dio sempat membuat aku tersinggung sedikit.. haha aku sudah mematikan mobil.. dan aku sempat berfikir meninggalkan mobil ini dan pergi tanpa arah tujuan seperti yang dia bilang.. aku hampir kalah.
            ”Persimpangan ini memang menyebalkan, ya dimana-mana yang namanya membuat keputusan itu memang menyebalkan. Kalau nggak mau ketemu yang menyebalkan.. dirumah aja.. nggak usah kemana-mana..”

Kalimat itu membuat aku tersentak.. aku terdiam hampir sepuluh menit karena perkataan Dio yang terakhir. Bukan karena ucapannya benar, ucapan dia memang selalu benar.. tetapi karena… aku tidak mau tidak kemana-mana.. itu lebih menyebalkan daripada persimpangan. Aku masih ragu, tapi akhirnya tanganku kembali menyalakan mobilku.
           
            “kita nggak akan balik kerumah kan? Udah jalan jauh begini masa’ balik lagi kerumah.”tanya Dio sambil memasang seat belt dan bersiap kembali pergi.
            ”nggak” jawabku.
            ”oh... terus.. udah tau kiri atau kanan?”
            ”Bismillah.. gw mau ke kota. Itu tujuan utama gw.”
            ”jadi nggak ke taman?”
            ”mungkin sesekali kalau mau refreshing.. gw akan main ke taman.. tapi yang pasti.. gw harus ke kota dulu.”
            ”kalau ketemu persimpangan lagi?”
            ”mungkin gw akan kembali berfikir.. akan kembali bingung.. tapi seperti kata lo.. itu adalah proses agar kelak saat gw tiba kearah tujuan gw, gw akan menghargainya. Lagian.. persimpangan ini membuat perjalanan menarik.”jawabku.

Dio tersenyum mendengar perkataanku, saat aku siap memutar setir ke kanan, aku bertanya kepada Dio.
            ”elo akan selalu nemenin gue kan? Sampai gw sampai di tempat tujuan”
            ”pasti. Gw selalu disamping lo asalkan ketika elo frustasi lagi, elo nggak buang gw ke jalan. Gw akan selalu disamping lo, bahkan ketika misalnya elo gagal dan harus balik ke titik awal.. elo tenang aja sama kesetiaan gw.. mendingan elo aja yang jaga kesetiaan elo ke gue.”
            ”kenapa elo baik banget sih ?”
...Dio tersenyum dan memandang dengan lembut.
            ”karena elo milik gw.”
Aku tersenyum mendengar kata itu dan kembali melaju.. siap untuk kembali bertemu persimpangan lainnya, yang mungkin semakin membingungkan. Setidaknya aku punya Dio.