Sebelumnya.. mobil ini melaju cepat.. nyaris seperti
tidak ada rem. Sampai akhirnya sekarang, tidak bergerak. Aku terdiam,
memandangi persimpangan jalan yang sedang terbentang dihadapanku.
”kenapa
?” Dio yang duduk disebelahku bertanya karena melihat aku tidak melanjutkan
perjalananku.
Aku tidak menjawab dan justru mematikan mobilku.
”lah..
? ini maksudnya apa? Kita udah sampe?” tanyanya kebingungan.
”belum..
toh kenyataannya memang kita pergi tanpa tujuan kan?” jawabku singkat.
Dio tidak menjawab, sepertinya dia malas berdebat
denganku.
Ya.. aku salah memakai kata ”kita”. Sebenarnya bukan
”Kita”, tetapi hanya ”Aku”, karena memang aku yang pergi tanpa tujuan.. dan Dio
hanya menemaniku.
”setidaknya,
pinggirin mobilnya, kasian klo ada mobil lain yang mau lewat.. kehalang mobil
lo?” ujarnya.
”gue
bingung mau ke kiri atau ke kanan” jawabku tidak menghiraukan permintaanya.
Dio melihat ke arah kiri dan kanan, karena memang
tidak ada penunjuk jalan.
”ini
kalau ke kiri nyambungnya kemana dan kalau kekanan nyambungnya kemana?” tanya Dio.
Aku menggelengkan kepala.
”loh..
gimana sih! Elo nggak tau daerah sini? Klo gitu kenapa lewat jalan sini? Kenapa
nggak lewat jalan biasa aja..! kenapa lewatin jalanan yang elo nggak tau
jalannya?”
”gue..
bosen lewat jalan biasa.” jawabku singkat.
Dio semakin kesal mendengar perkataanku, dia
langsung menidurkan kursinya dan berencana untuk tidak memperdulikan
situasi ini.
”ke
kiri itu nanti nembus-nembusnya taman. Ke kanan itu nembus-nembusnya kota.”
Mendengar itu Dio langsung menaikkan kursinya
seperti semula.
”lah..
itu elo tau..”
”ngira-ngira..
ngandelin logika aja.”
Dio tidak merespon, dia hanya memperhatikan kiri dan
kanan, mencoba mencari ”logika” yang aku maksud.
”gw
jg nggak tau kok logika gw bener apa nggak.. bisa jadi salah.”
”mungkin
sebenernya awalnya elo tentuin aja dulu, mau ke taman atau ke kota? Nggak usah
mikirin bener salah dulu deh. Tentuin dulu tujuannya, baru kita cari jalannya.”
terang Dio.
”tujuan gw adalah ke jalan yang
lurus-lurus aja.. yang tidak punya persimpangan.. yang nggak ngebikin gw harus
memilih kiri, kanan, atau lurus..”
“kenapa? Soalnya elo takut salah
pilih? Takut salah jalan?” tanya Dio.
Aku
tidak menjawab. Haha.. lucu juga.. aku masih menjaga harga diriku didepan Dio
dengan tidak mengakui tuduhannya.. padahal orang hilang arah seperti aku punya apa yang bisa
disombongkan?!
”Jalan yang lurus-lurus aja itu
ada.. tapi nggak semua jalan bisa lurus-lurus aja.. dan
elo nggak bisa minta jalan lo lurus-lurus aja. Didalam perjalanan.. sangat
mungkin elo ketemu persimpangan, yang mengharuskan elo buat memilih. Dan sangat
mungkin juga elo salah jalan yang kadang ngebikin elo harus putar balik dan
berdiri lagi di titik awal. Tetapi.. yaitulah perjalanan.. begitulah suka duka
usaha mencapai tujuan.”
”kenapa
harus begitu?” tanyaku geram.
Ya aku tau semua perkataan Dio itu benar.. tapi aku
tidak suka.. aku tidak suka persimpangan.. tidak suka memilih.. tidak suka
salah jalan.. tidak suka putar balik.. tidak suka titik awal. Bahkan aku sadar
benar, mungkin karena semua tidak suka itu.. aku jadi tidak suka punya tujuan..
aku jadi takut punya tujuan.
Dio diam sejenak sambil mengamati wajahku yang
menegang dan agak memerah, kemudian.. dengan tidak terpancing panas.. dia menjawab tenang,
”karena.....
agar kita menghargai tujuan kita.... ”
”Bagaimana
kalau gw sudah bersusah payah berjuang kesana dan ternyata tempatnya jelek
bukan seperti yang gw mau.. apa gw akan balik pulang? Balik ke titik awal
lagi?”
”ya
itu tergantung masing-masing orang. Bisa jadi elo akan tetap disana dan membuat
tempat tujuan itu menjadi indah seperti yang elo mau, bisa jadi elo juga elo
pergi cari tujuan lain, bisa jadi juga elo balik pulang kerumah.. lagian.. apa
sih jeleknya balik ke titik awal? Ya memang terlihat jelek sih, kesannya nggak
maju-maju.. tapi apa itu salah? Kembali ke mula itu bukan berarti kalah. Kalau
elo gagal terus matiin mobil, ninggalin mobil dan pergi tanpa arah tujuan.. itu
baru elo kalah.”
Perkataan Dio sempat membuat aku tersinggung
sedikit.. haha aku sudah mematikan mobil.. dan aku sempat berfikir meninggalkan
mobil ini dan pergi tanpa arah tujuan seperti yang dia bilang.. aku hampir
kalah.
”Persimpangan ini memang
menyebalkan, ya dimana-mana yang namanya membuat keputusan itu memang
menyebalkan. Kalau nggak mau ketemu yang menyebalkan.. dirumah aja.. nggak usah
kemana-mana..”
Kalimat
itu membuat aku tersentak.. aku terdiam hampir sepuluh menit
karena perkataan Dio yang terakhir. Bukan karena ucapannya benar, ucapan dia memang selalu
benar.. tetapi karena… aku tidak mau tidak kemana-mana.. itu lebih menyebalkan
daripada persimpangan. Aku masih ragu, tapi akhirnya tanganku kembali
menyalakan mobilku.
“kita
nggak akan balik kerumah kan? Udah jalan jauh begini masa’ balik lagi
kerumah.”tanya Dio sambil memasang seat belt dan bersiap kembali pergi.
”nggak”
jawabku.
”oh...
terus.. udah tau kiri atau kanan?”
”Bismillah..
gw mau ke kota. Itu tujuan utama gw.”
”jadi
nggak ke taman?”
”mungkin
sesekali kalau mau refreshing.. gw akan main ke taman.. tapi yang pasti.. gw
harus ke kota dulu.”
”kalau
ketemu persimpangan lagi?”
”mungkin
gw akan kembali berfikir.. akan kembali bingung.. tapi seperti kata lo.. itu
adalah proses agar kelak saat gw tiba kearah tujuan gw, gw akan menghargainya.
Lagian.. persimpangan ini membuat perjalanan menarik.”jawabku.
Dio tersenyum mendengar perkataanku, saat aku siap
memutar setir ke kanan, aku bertanya kepada Dio.
”elo
akan selalu nemenin gue kan? Sampai gw sampai di tempat tujuan”
”pasti.
Gw selalu disamping lo asalkan ketika elo frustasi lagi, elo nggak buang gw ke
jalan. Gw akan selalu disamping lo, bahkan ketika misalnya elo gagal dan harus
balik ke titik awal.. elo tenang aja sama kesetiaan gw.. mendingan elo aja yang
jaga kesetiaan elo ke gue.”
”kenapa
elo baik banget sih ?”
...Dio tersenyum dan memandang dengan lembut.
”karena
elo milik gw.”
Aku tersenyum mendengar kata itu dan kembali
melaju.. siap untuk kembali bertemu persimpangan lainnya, yang mungkin semakin
membingungkan. Setidaknya aku punya Dio.